Maret 2009, 3 bulan
setelah aku melahirkan, dengan tiba-tiba aku dimutasi ke bagian kredit. Bagian yang
selalu aku hindari sejak awal aku bergabung dengan bank tempatku bekerja saat
ini. Namun dengan dalih aku mempunyai bayi sehingga memerlukan tugas yang lebih
fleksibel dibandingkan di cabang, maka Kepala Kantor Wilayah memutasiku ke
bagian kredit mikro. Sungguh suatu mutasi yang langsung membuatku demotivasi
karena aku tahu hatiku tidak pernah bisa kompromi untuk bagian ini.
Tiga bulan mengikuti
pendidikan kredit mikro, aku ditempatkan di cabang tempat aku menjadi kepala
sebelumnya. Dan ternyata memang di kredit mikro tugasku fleksibel, begitu juga
dengan jam kerjanya. Awal-awal bulan jam kerjaku masih normal, tapi begitu
cabang mikroku mulai berkembang, jam kerjaku mulai tidak normal. Aku menjadi
semakin sering pulang malam walaupun keesokan harinya aku masih bisa berangkat
agak siang ke kantor. Tapi tetap saja aku menjadi semakin jarang berinteraksi
dengan suami dan anak-anakku.
Terkadang demi untuk
menjaga bonding dengan anak-anak, aku membawa serta mereka beserta baby sitter
nya ke kantorku. Sehingga walau jarang berinteraksi, bonding dengan mereka
masih tetap terjaga. Namun tidak demikian halnya dengan suami. Semakin jarang
berinteraksi semakin tidak nyambung komunikasi kami, yang menyebabkan sering
munculnya kesalahpahaman diantara kami. Mulai dari hal sepele hingga hal besar
yang hampir mengakibatkan rumah tangga kami bubar.
Aku nyaris gila. Disatu
sisi, aku masih merasa kurang nyaman dengan bagian dimana aku dimutasi. Disisi lain,
berbagai kesalahpahaman antara aku dan suami semakin sering terjadi. Yang terkadang membuat anak-anak ketakutan
karena mendengar pertengkaran-pertengkaran kami itu.
Di bulan Desember 2009,
aku mendapatkan kabar yang membahagiakan. Di satu hari aku merasakan pusing dan
mual sehingga setelah melakukan survey, aku tidak langsung kembali ke kantor melainkan pergi rumah sakit untuk
memeriksakan diri. Aku langsung menuju IGD dan hasil dari pemeriksaan fisik dan
lab yang dilakukan, akhirnya dokter memberitahuku bahwa aku sedang hamil. Tak
terhingga senangnya hatiku mendengarnya, dan sesudah pemeriksaan selesai aku
kembali ke kantor.
Suatu hari di akhir
Januari 2010, menjelang keberangkatanku dan salah satu staf marketingku untuk
survey, aku merasakan perutku agak mulas dan tidak enak. Kupikir aku ingin
buang air besar sehingga kuputuskan untuk ke toilet dulu sebelum berangkat
survey. Namun bukannya buang air melainkan flek yang keluar. Aku kaget dan
segera keluar dari toilet. Kemudian minta diantarkan ke rumah sakit oleh
stafku.
Hari itu, 5 minggu
setelah aku diberitahukan kabar kehamilanku, aku harus mendengar kabar bahwa
kehamilan tersebut tidak dapat dilanjutkan. Ya, janinku tidak sanggup mengikuti
aktivitasku yang sungguh sibuk dan melelahkan di kantor sehingga akhirnya
menyerah di usia kandungan jalan 13 minggu. Saat itu, didampingi suami, aku
masih berusaha mempertahankan janinku. Walau dokter kandunganku mengatakan
bahwa janinku sudah meninggal, tapi aku tidak mau percaya begitu saja. Aku tetap
berkata bahwa aku akan terus mempertahankan bayiku ini.
Setelah berdebat,
akhirnya dokter menyarankan aku untuk dirawat di rumah sakit. Dan ternyata
memang benar, selama dirawat aku terus menerus pendarahan sehingga ketika
dilakukan USG, aku harus menerima kenyataan bahwa janinku sudah hancur. Hasil USG
hanya menampilkan kantong bayi yang sudah kosong. Akupun menjalani kuretase untuk membersihkan rahimku.
Selamat jalan anakku, maafkan bunda yang tidak mampu menjagamu bahkan sejak
masih dalam kandungan. Keguguran ini cukup membuatku terpuruk cukup dalam.
Tiga bulan setelah
kuretase, tepatnya di bulan April 2010, tiba-tiba aku merasakan mual-mual,
rasanya seluruh isi perutku akan keluar. Ketika kulihat kalender yang terletak
di mejaku, aku tersadar bahwasanya aku sudah terlambat menstruasi selama 2
minggu. Kuyakin bahwa mual-mual yang aku rasakan sekarang adalah akibat dari
sedang tumbuhnya janin dalam rahimku. Dengan sedikit lemas, aku minta ijin ke
atasanku untuk pulang. Namun ditengah perjalanan, kuputuskan untuk mampir di
laboratorium dekat rumah untuk memastikan kebenaran perkiraanku.
Dan perkiraanku benar,
hasil laboratorium menunjukkan aku positif hamil. Esok harinya, aku
memeriksakan diri ke dokter kandunganku. Dokter memintaku untuk mengurangi
aktivitas mengingat riwayat keguguran yg kualami sebelumnya, dan sebisa mungkin
meminimalisir naik turun tangga.
Demi janinku, berbekal
surat keterangan dokter aku mengajukan mutasi ke kantor cabang yang lokasinya
mendekati kantor suamiku dan hanya satu lantai. Beruntung atasanku mempunyai
istri yang sedang hamil juga, sehingga bisa memahami kondisi kehamilanku dan
mau memindahkanku ke kantor cabang yang dimaksud.
Juni 2010, 3
bulan sudah usia kandunganku. Satu sore menjelang pulang kantor, setelah shalat
ashar, aku tiba-tiba merasa demam dan perutku terasa kencang. Perasaanku tidak
enak, aku yakin ada yang tidak beres dengan kandunganku. Teringat saat
keguguran yang lalu, perutku terasa mulas. Aku menelepon suami untuk menemuiku
di rumah sakit karena aku memutuskan untuk ke IGD. Aku tidak ingin terjadi
sesuatu dengan kandunganku.
Sesampainya di rumah sakit,
aku langsung di periksa dan dikonsul ke dokter kandunganku. Dari hasil
pemeriksaan USG dan konsultasi, aku dinyatakan mengalami pendarahan dan
diharuskan menjalani bedrest selama 2 minggu. Dengan perasaan tak menentu, aku
menunggu suami menjemputku.
Beberapa minggu menjalankan
bedrest, pendarahanku bukannya membaik tapi semakin parah. Aku semakin stress dan
bayangan keguguran lagi muncul dipelupuk mataku. Padahal kutahu bahwa aku
seharusnya tenang agar janinku juga tenang, namun tak dapat kusangkal perasaan
takut yang sangat besar ini.
Puncaknya di suatu
maghrib, saat berbaring di tempat tidur aku tiba-tiba merasa panas dingin,
badanku demam dan perutku sakit sekali, saking sakitnya aku tidak sanggup
bersuara pada saat memanggil suami yang kebetulan sedang shalat maghrib. Dan
aku tiba-tiba kehilangan kesadaranku. Aku tersadar kembali ketika suami
memanggil-manggil namaku dengan cemas. Saat tersadar, betapa kagetnya ketika
kulihat seluruh tempat tidur sudah menjadi lautan darah. Dan untuk kesekian
kalinya, aku harus keguguran lagi
Enam bulan setelah keguguran
yang terakhir, yaitu di bulan Januari 2011, aku mendapatkan kabar gembira lagi.
Hasil medical check up yang kulakukan menunjukkan aku sedang hamil. Tak percaya
aku sampai minta kepastian kepada suami. Dan memang dibagian hasil laboratorium
terdapat hasil positif untuk kehamilan. Alhamdulillah ya Allah, sungguh
bahagianya aku masih dipercaya untuk dititipkan anak kembali.
Sebulan setelah hari
itu, saatnya kontrol kandungan, ditemani mbaknya anak-anak aku menunggu
antrian. Sudah 2 hari aku merasa lemas, bawaan bayi pikirku. Kuajak bicara
janinku, kukatakan betapa aku sayang padanya. Sungguh kaget, saat dilakukan USG
di layar komputer yang terlihat hanya kantong bayi padahal usia kandunganku
sudah masuk 12 minggu. Dokter memintaku untuk periksa dalam, ketika suster
sedang mempersiapkan kebutuhan periksa dalam, tiba2 perutku mulas sekali.
Kukatakan pada suster bahwa perutku mulas, sesaat kemudian gumpalan darah
keluar dari bagian bawah tubuhku. Betapa kagetnya aku, dan ketika dokter
mengatakan bahwa aku keguguran lagi, aku sudah menjadi begitu skeptis.
Mengalami keguguran 2
kali berturut-turut membuatku tak mampu menangis lagi. Aku hanya bisa pasrah
dan introspeksi diri apa yang salah dalam diriku sehingga aku harus
mengalaminya lagi. Semua saran dokter sudah kuturuti, namun takdirNya jugalah
yang menentukan.
Bulan Oktober 2011, akhirnya
jadi juga aku mutasi ke bagian yang tidak bertentangan dengan nuraniku. Sejak
pergi ke kantor pagi itu, aku merasakan pusing kepala. Untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan, aku menelepon supir kantor untuk minta tolong
memarkirkan mobilku di basement. Sesampainya di lobby, aku telepon temen
supirku itu untuk mengantarku ke rumah sakit. Begitu sakitnya kepalaku menyebabkan
kesadaranku hilang.
Setiba di rumah sakit,
dokter IGD langsung memeriksaku dan hasilnya adalah aku sedang hamil lagi dan
mengalami sedikit pendarahan. Aku harus bedrest total, tidak boleh turun sama
sekali dari tempat tidur karena kehamilanku sangat berisiko mengingat riwayat
keguguran berulang yang pernah aku alami. Aku senang bercampur takut
mendengarnya, tapi aku bertekad apapun akan kulakukan untuk mempertahankan
janinku kali ini.
Di trimester pertama,
aku mengalami pendarahan 4 kali dan 4 kali pula aku harus dirawat. Memasuki
trimester kedua, ujianku bertambah. Setiap aku bergerak, perutku kontraksi
sehingga keluar flek. Praktis dari awal kehamilan sampai usia kandungan 20
minggu aku tidak bisa beraktivitas apapun.
Pihak kantor tidak mau
tahu dengan kondisiku dengan tetap memintaku untuk hadir di kantor. Sementara,
dokter kandunganku sudah memvonis bahwa aku tidak boleh banyak bergerak apabila
janinku ingin selamat. Disinilah ujian Allah, aku dihadapkan pada pilihan yang
sangat sulit. Akhirnya aku harus memutuskan antara karir dan kandunganku.
Dengan mengucapkan
bismillah dan mengikhlaskan hati, aku meminta ijin kepada suami untuk resign
dari pekerjaanku. Suami kaget bercampur terharu, dia menyerahkan sepenuhnya
keputusan kepadaku karena menurutnya aku yang menjalani, dia support apapun keputusanku.
Sebulan setelah resign, aku melahirkan. Rupanya bayiku ingin segera menghirup
udara dunia, dia minta dilahirkan prematur di usia kandungan 32 minggu 3 hari
melalui operasi caesar.
Ujianku belum berhenti,
2 jam setelah kelahirannya bayiku kritis karena paru-parunya tidak mengembang
dan dirujuk ke sebuah rumah sakit khusus ibu dan anak. Sebelum aku sadar dari
pengaruh obat bius, aku sudah dipisahkan dari bayiku. Hikmah dari terpisahnya
aku dan bayiku, aku menjadi lebih cepat pulih dari operasi.
Pulang dari rumah sakit,
aku langsung menengok bayiku. Dan sungguh ku tak sanggup menahan tangis melihat
kondisinya yang dipenuhi berbagai selang. Kubisikkan kedatanganku dan
memotivasinya terus berjuang untuk hidup. Setiap hari aku mendampingi bayiku
untuk memberikan asi. Dengan kuasa dan ridhoNya, bayiku bisa melewati masa
kritisnya dan setelah 1 bulan lebih dirawat bisa berkumpul kembali bersama
kakak-kakaknya.
Sungguh peristiwa
kelahiran dan kondisi bayiku menjadi salah satu titik balik hidupku. Aku
semakin memantapkan diri untuk menjadi ibu rumah tangga yang merawat, mengasuh
dan mengawasi anak-anakku sendiri sebagai balasan atas waktu kebersamaan yang
hilang saat aku bekerja dahulu. Sejak kelahiran anak bungsuku ini, aku
benar-benar mengalami metamorfosis. Dititik ini pula aku memutuskan untuk
berhijab.
Banyak teman, kenalan
maupun bekas kolegaku yang tidak percaya atas perubahan ini. Ya, semua orang
yang mengenalku pasti tidak akan percaya dengan gaya hidupku sekarang.
Jangankan mereka, diriku pun sempat tidak percaya dengan perubahan ini, tapi
aku yakin Allah sangat menyayangiku sehingga Dia menegurku agar aku lebih fokus
mencari akhirat. Sungguh indah caraNya berbicara kepadaku yang tidak juga
mendengarkan teguran-teguranNya. Dia siapkan mentalku untuk menghadapi
kehidupan baru sehingga aku tidak merasakan apa yang disebut dengan Post
Power Syndrom disaat aku sudah berpaling kepadaNya saat Dia berbicara
kepadaku. Sungguh nyata besarnya kasih sayangNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar