Senin, 17 Agustus 2020

EGO DAN PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL MANUSIA

            Pembentukan pribadi yang baik akan berguna sebagai bekal anak untuk menghadapi lingkungan sosialnya sendiri. Juga menentukan kemampuannya berjuang dalam menghadapi masalahnya sendiri. Dengan demikian, pembentukan pribadi anak menjadi hal yang penting untuk dipelajari.

            Masa-masa awal seorang anak menjadi dasar pembentukan karakternya. Pengaruh-pengaruh yang masuk ke dalam kehidupan seorang anak sangat menentukan pembentukan karakternya kelak. Banyak teori tentang perkembangan psikologi anak, diantaranya adalah teori psikososial Erikson yang dicetuskan oleh Erik Erikson.

            Teori psikososial Erikson ini merupakan salah satu teori terbaik mengenai kepribadian yang ada dalam psikologi. Erikson mempercayai bahwa kepribadian seseorang akan berkembang melalui beberapa tingkatan tertentu. Salah satu elemen penting dari tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan mengenai persamaan ego.

            Ego adalah suatu perasaan sadar yang kita kembangkan melalui proses interaksi sosial. Perkembangan ego akan selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang didapatkan seseorang sebagai hasil interaksinya dengan orang lain. Erikson juga mempercayai bahwa kemampuan untuk memotivasi sikap dan perbuatan seseorang dapat memicu suatu perkembangan yang positif. Inilah yang mendasari penyebutan teorinya sebagai Teori Perkembangan Psikososial.

            Menurut Erikson, ego yang sempurna adalah ego yang mengandung tiga aspek utama, yaitu :

·         Faktualitas : yaitu kumpulan fakta dan data yang dapat diverifikasi dengan metode kerja yang digunakan sebagai hasil dari interaksi lingkungan.

·         Universalitas : berkaitan dengan kesadaran akan kenyataan atau sense of reallity. Menggabungkan hal yang praktis dan konkrit dengan pandangan seluruh semesta.

·         Aktualitas : yaitu suatu cara untuk memperkuat hubungan dengan orang lain agar mencapai tujuan bersama.

Dasar dari teori Erikson adalah sebuah konsep yang mempunyai tingkatan. Ada delapan tingkatan yang menjadi bagian dari teori psikososial Erikson. Masing-masing tingkatan tersebut akan dilalui oleh setiap manusia. Dan setiap manusia dapat naik ke tingkat berikutnya walaupun perkembangan yang dialaminya di tingkat sebelumnya tidak sepenuhnya tuntas.

Setiap tingkatan dalam teori Erikson, berhubungan dengan semua bidang kehidupan. Artinya jika setiap tingkatan itu tertangani dengan baik, maka individu tersebut akan merasa pandai. Sebaliknya jika tingkatan-tingkatan tersebut tidak tertangani dengan baik, pada individu tersebut akan muncul perasaan tidak selaras.

Erikson mempercayai bahwa  dalam setiap tingkat, seseorang akan mengalami konflik atau krisis yang menjadi titik balik setiap perkembangannya. Konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi. Atau dengan kata lain kegagalan dalam pengembangan kualitas terseebut.

Seperti yang diungkapkan sebelumnya, bahwa teori perkembangan psikososial Erikson ini mempunyai delapan tahapan. Penjelasan dari masing-masing tahapan tersebut adalah sebagai berikut :

1.      Trust vs Mistrust (0-18 bulan)

Karena ketergantungannya, hal pertama yang akan dipelajari seorang anak atau bayo dari lingkungannya adalah rasa percaya pada orang di sekitarnya. Terutama pada ibu atau pengasuhnya yang selalu bersama setiap hari. Jika kebutuhan anak dipenuhi oleh sang ibu atau pengasuhnya, seperti makanan dan kasih sayang, maka anak akan merasakan keamanan dan kepercayaan.

Keberhasilan dari tahapan ini akan berpengaruh kepada konsep diri yang akan dimiliki si anak. Konsep diri adalah sekumpulan hal-hal yang dipikirkan, diyakini, dan dipersepsikan seseorang tentang dirinya.

2.      Otonomi vs malu dan ragu-ragu (18 buoan – 3 tahun)

Kemampuan anak untuk melakukan beberapa hal pada tahap ini sudah mulai berkembang. Seperti makan sendiri, berjalan, dan berbicara. Kepercayaan yang diberikan orang tua  untuk memberinya kesempatan bereksplorasi sendiri dengan dibawah bimbingan, akan dapat membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri dan percaya diri.

Keberhasilan akan tahapan ini akan mempengaruhi bagaimana kepribadian si anak berkembang. Tidak terbentuknya rasa percaya diri anak meningkatkan kemunculan persentase kepribadian ganda di masa depan.

3.      Insitiatif vs rasa bersalah (3 – 6 tahun)

Anak usia prasekolah sudah mulai mematangkan beberapa kemampuannya yang lain seperti motorik dan berbahasa. Mampu mengeksplorasi lingkungannya secara fisik maupun sosial. Dan mampu mengembangkan inisiatif untuk mulai bertindak.

Kegagalan pada tahapan ini akan mengganggu proses pematangan pribadi si anak. Yang pada akhirnya akan menimbulkan keabnormalan dalam psikologisnya.

4.      Tekun vs rendah diri (6 – 12 tahun)

Anak yang sudah terlibat aktif dalam interaksi sosial akan mulai mengembangkan suatu perasaan bangga terhadap identitasnya. Dukungan dari orang tua dan lingkungannya akan menbangun perasaan kompeten serta percaya diri. Pencapaian sebelumnya akan memotivasi anak untuk mencapai pengalaman baru.

Keberhasilan tahapan ini akan berpengaruh pada proses belajar anak di masa yang akan datang. Anak yang berhasil melalui tahapan ini dengan tuntas maka kepribadiannya akan mampu memilih proses belajar yang sesuai.

5.      Identitas vs kebingungan peran (12 – 18 tahun)

Pada tahap ini, seorang anak akan mencoba banyak hal untuk mengetahui jati diri mereka.  Biasanya anak akan mencari teman yang memiliki kesamaan dengan dirinya untuk melewati tahap ini. Jika anak dapat menjalani berbagai peran baru dengan positif dan didukung oleh orang tua, maka identitas yang positif akan dicapai oleh si anak.

6.      Keintiman vs isolasi (18 – 35 tahun)

Tahap pertama dalam perkembangan kedewasaan ini biasanya terjadi pada masa dewasa muda. Yaitu tahap ketika seseorang merasa siap membangun hubungan yang dekat dan intim dengan orang lain. Saat keberhasilan membangun hubungan yang erat diperoleh, maka seseorang akan mampu merasakan cinta dan kasih sayang.

7.      Bangkit vs stagnan (35 – 64 tahun)

Ini adalah tahap kedua perkembangan kedewasaan. Normalnya, pada tahap ini seseorang sudah mapan dalam kehidupannya. Kemajuan karir dan rumah tangga yang telah dicapai memberikan seseorang perasaan untuk memiliki suatu tujuan.

8.      Integritas vs keputusasaan (65 tahun keatas)

Pada tahapan ini, seseorang akan mengalami penglihatan kembali atau flashback tentang alur kehidupan yang telah dijalaninya. Pada tahap ini juga, seseorang itu akan berusaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang sebelumnya tidak terselesaikan.

Keberhasilan tahap ini akan membuat seseorang mampu mendapatkan kebijaksanaan di akhir hayatnya.

            Teori psikososial Erikson ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan teori psikologi lainnya. Kelebihannya adalah teorinya mencakup seluruh masa, dan tahapannya mulai dari masa kanak-kanan hingga lanjut usia. Inilah sebabnya banyak psikolog yang lebih memilih teori Erikson dibandingkan teori lainnya.

Minggu, 16 Agustus 2020

RIndu yang tak Berujung

 

 Aku
Ketika aku sedang rindu, dimanakah engkau berada? Aku selalu menunggumu disini di tempat terakhir kita berjumpa. Disaat itu engkau berjanji akan selalu ada di sampingku. Kau berjanji akan selalu menemani hari-hariku.
Apakah kau tidak pernah merasakan rindu lagi kepadaku? Ataukah sebenarnya kau tak pernah rindu? Sehingga karena kau tidak mau menyakiti hatiku, maka kau memutuskan pergi tanpa pernah ada ucapan selamat tinggal? Tidakkah kau tahu hatiku begitu merindumu?
Setiap senja, aku selalu datang kesini. Ke tempat kau berjanji untuk selalu mencintaiku. Untuk selalu menyayangiku. Untuk selalu merindukanku.
Tapi hingga rembulan mengintip dibalik awan, kau tidak pernah datang. Apakah kau memang sudah mengingkari janjimu? Apakah kau tahu bahwa laki-laki yang dipegang adalah kata-katanya? Tidakkah kau terpikir atau kau rasakan bagaimana hancurnya hatiku?
Ingin rasanya aku membencimu. Namun hatiku tak kuasa. Rasa cinta dan rindu jauh lebih dalam dibandingkan rasa benciku kepadamu. Disaat semua orang mengatakan aku harus melupakanmu, aku akan tetap bertahan dengan perasaanku. Aku yakin suatu saat nanti, engkau akan datang untuk menjemputku.
Aku akan tetap menantimu disini. Di tempat kita berjumpa untuk terakhir kalinya. Ditempat kau ucapkan janji-janjimu kepadaku. Hingga waktu yang akupun tak tahu ujungnya, kuakan tetap menunggumu.

Kamu
Saat kamu rindu, aku selalu datang disisimu. Aku selalu berada disampingmu saat kamu menantiku disini. Ditempat aku berjanji untuk selalu mencintaimu. Untuk selalu menyayangimu. Untuk selalu merindukanmu. Karena kamulah satu-satunya belahan jiwaku.
Aku selalu merindukanmu, Cintaku. Aku selalu merindukan saat-saat kita bersama. Saat kita berdua memandang senja hingga rembulan muncul dari peraduannya. Tak pernah lekang rinduku padamu, Cintaku.
Aku tak pernah mengucapkan selamat tinggal, karena aku memang tak kan pernah mampu mengucapkannya. Pun saat ruhku harus berpisah dengan jasadnya, aku tetap tak mampu mengucapkan selamat tinggal padamu. Kamu satu-satunya cinta yang kurindu.
Aku sangat memahami perasaanmu. Aku siap seandainya kamu membenciku walau aku tak ingin kamu membenciku. Karena aku tahu, kamu tidak pernah tahu alasanku tidak pernah datang menemuimu lagi. Sesungguhnya aku ingin mengatakannya kepadamu, namun aku tidak tahu bagaimana caranya.
Kini aku hanya sebuah jiwa yang melayang tanpa tahu tempatku berada. Seseorang yang telah merenggut jiwaku saat kita berpisah membuatku tak bisa menemuimu lagi, Rinduku. Kuharap ada manusia yang bisa menemukan jasadku agar kamu tahu mengapa aku tidak lagi menemuimu. Agar kamu tidak lagi menungguku disini.
Aku sangat merindukanmu, aku akan tetap menemani hari-harimu. Meski kamu tidak lagi merasakan kehadiranku, tapi kupastikan aku selalu disampingmu. Hingga tiba saatnya nanti aku bisa menjemputmu untuk menyatukan rindu kita kembali.

Dan kita kembali berada di dunia yang sama.

 

Jumat, 14 Agustus 2020

Tradisi yang Menghilang

 Gambar mungkin berisi: makanan

 

 Ada beberapa tradisi yang biasa keluarga kami lakukan menjelang bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Sejak aku sudah bisa mengingat peristiwa yang ada di bumi ini hingga buyut, nenek dan ibuku meninggal, kami selalu melakukannya. Namun saat buyutku meninggal, ada tradisi yang mulai tidak dilakukan. Setelah nenekku meninggal, beberapa tradisi menghilang. Dan sejak ibuku meninggal 4 tahun lalu, semua tradisi yang dulu kami lakukan benar-benar menghilang.
Terus terang aku sangat merindukan tradisi-tradisi tersebut. Ingin rasanya menghidupkan semua tradisi tersebut. Namun sepertinya kondisi yang ada tidak menunjang untukku melakukan berbagai tradisi jaman aku kecil. Tapi kalau aku mau berusaha, beberapa tradisi yang masih relevan dengan zaman sekarang bisa saja aku lakukan bersama anakku.
Dulu, saat aku masih kecil, menjelang Ramadhan kami mempunyai tradisi berziarah atau 'nyekar' ke makam-makam leluhur kami. Mulai yang berada di pemakaman kota sampai yang di kampung. Semua makam leluhur kami ziarahi. Aku paling suka saat moment menabur bunga.
Bunga-bunga yang kami tabur adalah hasil dari aneka bunga yang ditanam nenekku di pekarangan rumah. Kami tidak terbiasa membeli bunga tabur di areal pemakaman. Makanya bunga-bunga yang ditabur di makam leluhur kami biasanya berbeda dengan bunga-bunga yang ada di makam lainnya. Ziarah kubur biasanya kami lakukan seminggu sebelum Ramadhan.
Pada hari pertama Ramadhan, kami sekeluarga wajib berbuka puasa di rumah. Jadi saudara-saudara yang tinggal di luar kota biasanya pulang kampung untuk 'munggahan'. Sebutan yang kami berikan untuk acara buka bersama di hari pertama puasa. Tidak ada yang berani melanggar tradisi tersebut. Karena dipastikan akan mendapat wejangan panjang lebar dari buyut kami.
Saat masih ada buyutku, sejak hari pertama puasa, kami sudah mulai membuat aneka penganan untuk Idul Fitri nanti. Dimulai dari keripik ketan hitam, kerupuk gendar, kue satu, kue rangi, rengginang aneka rasa, kecimpring, kue kembang goyang, aneka kue kering diakhir oleh kue bolu dan puding santan saat malam takbiran.
Setiap hari kami membuat aneka penganan tersebut. Hingga nyaris aku tidak pernah merasakan lapar dan haus saat melaksanakan puasa karena sibuk membantu buyut dan nenekku membuat aneka penganan tersebut. Apalagi sehari menjelang Idul Fitri, buyut dan nenekku sudah sibuk membuat ketupat. Rasanya enak sekali karena ketupatnya dibuat diatas perapian bukan kompor. Wangi daun kelapanya dan warna kemerahannya membuat kami para cucu beliau sangat menggemari ketupatnya.
Setelah buyutku meninggal, tradisi membuat aneka keripik dan rengginang mulai tidak dilakukan. Nenekku hanya meneruskan tradisi membuat aneka kue kering dan makanan menjelang malam takbiran saja. Karena berkurangnya kesibukanku diawal Ramadhan, maka nenekku memasukkan aku ke sekolah agama. Maksudnya agar aku tetap ada kesibukan untuk mengisi liburan Ramadhanku.
Zaman aku kecil dulu, setiap bulan Ramadhan, sekolah libur sebulan lebih. Kami baru masuk sekolah lagi seminggu setelah Lebaran. Namun selama liburan tersebut kami tetap ada tugas yang harus dikumpulkan saat masuk kembali ke sekolah nanti. Ramadhan masa kecilku dulu benar-benar terasa menyenangkan.
Tradisi-tradisi tersebut tetap dilakukan sampai aku menikah dan mempunyai anak. Namun, setelah nenekku meninggal, tradisi membuat kue bolu dan puding santan saat malam takbiran, tidak pernah dilakukan lagi. Ibuku meneruskan tradisi membuat kue kering, walau macamnya tidak sebanyak yang nenekku buat, dan masak di malam takbiran. Tanpa kue bolu dan puding santan. Aku mulai kehilangan tradisi tersebut, namun memaklumi karena tidak mungkin ibuku melakukannya sendiri.
Ya, kami anak-anaknya sudah berumah tangga. Jarang kami bisa berkumpul secara komplit pada hari Lebaran karena kami biasa bergantian untuk berlebaran di mertua-mertua kami. Sehingga tidak mungkin bagi kami untuk selalu membantu mama memasak saat malam takbiran. Zaman sudah berubah, tradisi pun ikut berubah.
Setelah ibuku meninggal, semua tradisi tersebut tidak lagi dilakukan di keluarga besar kami. Aku benar-benar merasa kehilangan. Namun memang kondisi juga tidak memungkinkan. Beberapa kali aku mencoba menghidupkan kembali tradisi membuat kue kering dan kue bolu dirumahku, tapi rasanya tetap berbeda dengan masa kecil aku dulu.
Aku rindu masa-masa membantu buyut dan nenekku membuat aneka penganan Lebaran. Aku rindu dengan segala kebiasaan yang kami lakukan dulu. Mungkinkah aku menghidupkan lagi tradisi-tradisi tersebut di keluarga kecilku ini?

 

Kamis, 13 Agustus 2020

Me vs Teknologi

 Teknologi, salah satu kata yang sering membuat saya kehilangan minat. Entah mengapa saya tidak pernah tertarik dengan yang namanya teknologi. Mungkin saya sedikit dari sedikit orang yang kurang antusias terhadap teknologi. Walaupun tidak dapat dipungkiri, saya menikmati manfaat dari kemajuan teknologi saat ini.
Oleh karena itu, saat saya diminta untuk menulis dengan tema teknologi, saya langsung blank. Semangat menulis saya seperti lenyap entah kemana. Tapi dikarenakan tugas, terpaksa juga saya membuat tulisan mengenai teknologi. Meski saya membuatnya menjelang detik terakhir.
Walaupun segala sesuatu menjadi lebih mudah dengan teknologi, tapi rasanya tetap lebih afdol hasilnya apabila dilakukan secara tradisional. Apa mungkin saya termasuk manusia jadul? Entahlah, beberapa hal saya tetap lebih menyukai hal-hal yang berbau tradisional.
Misal, saya lebih suka nasi yang dimasak di dandang dibandingkan di rice cooker. Nasi hasil rice cooker rasanya lebih lengket menurut saya. Hal yang lain, untuk kegiatan menulis. Saya lebih nyaman kalau menulis menggunakan bolpen di buku daripada di komputer. Saya merasa dengan membuat tulisan tangan, feel saya lebih keluar.
Satu hal lagi yang membuat saya "ilfil" dengan teknologi adalah kecepatan dia untuk berinovasi. Terus terang, rapid change yang terjadi karena teknologi sering membuat saya kebakaran jenggot. Apalagi saya termasuk orang yang otaknya lambat dalam memahami teknologi. Makin menjadi ke-ilfil-an saya.
Contohnya gagdet, cepat sekali keluar versi baru dengan fitur-fitur yang makin canggih. Dan saya beruntung karena suami termasuk pengamat teknologi sehingga sering saya dihadiahi gagdet-gagdet canggih tersebut. Tapi ya begitu, bukannya saya tidak bersyukur, tapi setiap kali saya diberi gagdet yang lebih canggih, semakin pusing saya menggunakan gagdet tersebut.
Niat suami memang bagus, maksudnya agar saya lebih terbantu dengan fitur-fitur terbaru yang ada di gagdet tersebut. Namun faktanya, seringkali saya tidak menggunakan fitur-fitur tersebut. Karena memang saya kebingungan bagaimana caranya fitur-fitur tersebut dapat memudahkan pekerjaan saya.
Misal, adanya aplikasi office di handphone. Sampai saat ini, saya masih bagaimana untuk menggunakannya. Saya masih belum faham bagaimana saya bisa membuat slide di aplikasi power point yang ada di handphone. Saya masih belum faham membuat tulisan di aplikasi ms word yang ada di handphone. Dan masih banyak lagi aplikasi yang belum saya fahami penggunaannya.
Oleh karena itu, secanggih apapun handphone yang saya miliki, tetap saja banyak fitur yang tak terpakai. Karena, logika saya sepertinya masih belum sampai untuk memahami kecanggihan teknologi saat ini.

Rabu, 12 Agustus 2020

Apa Kabar Pendidikan Indonesia?

 Apalagi di masa pandemi seperti sekarang, sepertinya kita sudah kehabisan kata untuk berkomentar. Ya, pola pendidikan di negara kita memang masih belum ajeg. Beda menteri beda kebijakan kurikulumnya.
Tidak salah memang, karena para menterinya pun hasil kurikulum pendidikan negara kita juga
Tapi terus terang saja, kebijakan yang berbeda-beda tersebut membuat praktisi pendidikan menjadi kelimpungan. Jangankan praktisi pendidikan, orang tua dan siswa/i pun sama-sama kebingungan. Terutama orang tua dan siswa/i yang baru naik ke kelas 6 SD, 3 SMP maupun 3 SMA.
Hal ini dikarenakan, ditingkat sebelumnya mereka belajar berdasarkan kurikulum dari menteri A. Begitu naik kelas, menteri A diganti oleh menteri B yang dengan mudahnya mengganti dengan kurikulum baru. Tentu saja ini akan membuat guru, orang tua dan anak menjadi kewalahan. Guru harus mempelajari dengan kilat kurikulum baru tersebut demi bisa mengajarkan kepada siswa siswinya. Anak-anak harus beradaptasi lagi sedangkan ujian akhir sudah di depan mata.
Yang terjadi adalah meningkatnya level stress dari anak-anak. Kalau itu yang terjadi, maka orang tua yang lebih kewalahan. Pertama, mereka belum tentu mempunyai latar belakang pendidik. Kedua, mereka juga belum tentu mempunyai latar belakang konseling. Hasil akhir, orang tua dan anak menjadi sama-sama stress. Ujungnya, kekerasan dalam rumah tangga meningkat. Jadi merembet kemana-mana.
Begitu juga yang sedang terjadi saat ini. Dengan adanya pandemi, menambah cepat laju tingkat stress anak-anak. Mereka yang biasanya bisa berkalibrasi dengan bermain di luar rumah, sekarang harus tetap di rumah hingga berbulan-bulan. Dengan kondisi yang sedemikian rupa, apa yang terjadi dengan pendidikan anak-anak sekolah? Faktanya, kurikulum yang digunakan masihlah sama dengan kurikulum sebelum pandemi. Sungguh tidak adil bagi anak-anak. Dengan keterbatasn fasilitas, mereka harus dicekoki dengan kurikulum yang masih tetap padat. Seharusnya pemerintah dalam hal ini Mendiknas, haruslah segera menentukan solusi dengan membuat kurikulm darurat. Kurikulum dimana anak-anak hanya mempelajari materi dasar seperti matematika, bahasa, agama, sains dan moral.
Atau bisa juga, pemerintah membuat kurikulum baru yang berbasis potensi dan karakter. Ini lebih adil bagi anak-anak. Karena mereka bisa berprestasi dan dinilai menurut karakter dan potensinya. Tidaklah disamakan semua. Kurikulum ini akan lebih melejitkan potensi anak-anak karena mereka diasah sejak dini.
Sambil mematangkan kurikulum berbasis potensi dan karakter ini, pemerintah bisa menerapkan kurikulum darurat. Diharapkan dengan tersalurkannya potensi anak-anak dalam pendidikan di sekolah, tingkat stress mereka pun akan menurun.
Semoga pemerintah semakin bijaksana dalam menangani bidang pendidikan. Karena pendidikan yang tepat akan melahirkan generasi pemimpin yang bijak. Dan pemimpin yang bijak sangat diperlukan dalam memimpin sebuah negara.

 Keterangan foto tidak tersedia.

 

Selasa, 11 Agustus 2020

Antara Cita-Cita dan Impian

Keterangan foto tidak tersedia.

 

 Antara Cita-Cita dan Impian

Apa sebenarnya yang membedakan cita-cita dengan impian? Sebelum kita bahas lebih lanjut, kita cek dulu definisi cita-cita dan impian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Cita-cita adalah (1) keinginan (kehendak) yang selalu ada dalam pikiran, (2) tujuan yang sempurna (yang akan dicapai atau dilaksanakan).
Impian adalah (barang) yang diimpikan, barang yang sangat diinginkan.
Setelah membaca definisi kedua kata tersebut, jelas terlihat perbedaannya. Kalau cita-cita hanya sekedar ingin sementara impian menggunakan tambahan kata "sangat" ingin. Jadi kalau melihat dari sudut kekuatan keinginan, impian lebih kuat dibandingkan dengan cita-cita.
Itulah sebabnya, cita-cita seseorang bisa berubah. Tapi impian seseorang jarang berubah. Seseorang saat ditanya cita-cita masa kecil, jawabannya keren-keren. Ada yang jawab dokter, insinyur, pilot, polisi dan sebagainy. Tapi saat sudah dewasa, cita-citanya mayoritas berubah. Tidak lagi ingin jadi dokter atau insinyur, bisa jadi tiba-tiba jadi seniman.
Hal ini dikarenakan, saat kecil anak-anak melihat profesi-profesi tersebut tampak keren. Apalagi dengan seragam yang rapi, sungguh mempesona penampilannya. Tapi begitu beranjak dewasa, seseorang mulai memahami passionnya, bakatnya, maka seragam tidak lagi menjadi faktor yang menentukan cita-citanya. Dengan memahami passionnya, seseorang akan melakukan apapun agar bisa melakukan passionnya.
Passion inilah yang membedakan seseorang dalam mencapai cita-cita dan impiannya. Cita-cita biasanya tanpa disertai passion, tapi kalau impian, sudah pasti didasari oleh passion. Maka, mulailah menggali passion anak-anak kita sejak dini. Agar cita-citanya sejalan dengan impiannya. Apabila cita-cita sudah sejalan dengan impian, mudah bagi orang tua untuk mengarahkannya. Jangan sampai orang tua mengeluarkan stupid cost yang besar karena tidak memahami passion anaknya.
Contoh saya, sejak kecil bercita-cita menjadi dokter. Pertengahan jalan ketahuan kalau saya ternyata tidak kuat melihat darah. Maka buyarlah cita-cita menjadi dokter. Tapi saat itu saya belum menyadari bahwa menjadi dokter bukanlah impian saya. Aktivitas yang paling saya sukai adalah mendengarkan curhat orang lain. Dan ternyata, itulah yang menjadi impian saya. Keinginan untuk mendengarkan curhat orang lain dan memberikan support kepada mereka terus muncul dan semakin hari semakin kuat.
Dan seperti pepatah mengatakan, life begin at 40. Kehidupan saya menjalani profesi Solver dimulai saat usia 40 tahun.
Kalau dilihat dari sisi usia, saya termasuk terlambat mencapai impian saya. Tapi dari sisi pencapaian, lebih baik terlambat daripada tidak berusaha mencapainya sama sekali.
Jadi, jangan pernah berhenti mengejar impianmu. Saat engkau mempunyai impian, pegang erat, lakukan yang terbaik untuk meraihnya. Jangan biarkan siapapun mencoba menghalangimu untuk meraihnya. Yakin, Allah akan memberikan jalan bagi orang yang bersungguh-sungguh.

 

Senin, 10 Agustus 2020

My Family

Keluarga, apa sebenarnya makna keluarga bagi kita? Makna keluarga bagi setiap orang pasti berbeda. Ada yang bermakna prioritas pertama, ada yang bermakna pada siapa kita kembali, dan lain-lain.
Bagiku sendiri, makna keluarga adalah sekumpulan orang yang mau menerima kita apa adanya dan membuat kita mampu bersikap apa adanya pula. Ya, bagiku, keluarga adalah tempat dimana aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa harus memikirkan apa kata orang terkait nama baik keluarga.
Di depan suami dan anak-anak, aku bisa bersikap layaknya aku pribadi. Mereka bisa membedakan kapan saat aku bersikap sebagai istri, ibu maupun pribadi. Dan itu berlaku bagi semua anggota keluarga kami. Sehingga diantara kami, tidak ada yang namanya rahasia, kecuali memang yang bersifat privacy.
Kenyataannya, kami menikmati sikap yang diambil ini. Ada kalanya kami berperan sebagai orang tua dan anak. Ada pula saat kami berperan sebagai sesama. Dan hal inilah yang membuat hubungan kami menjadi nyaman. Setiap anak nyaman bercerita apa pun, dan kami pun orang tua dengan senang hati mendengarkannya.
Kondisi keluarga yang seperti ini memang tidak serta merta kami peroleh begitu saja. Berbagai tantangan hidup yang hadir dalam keluarga akhirnya membentuk kami menjadi keluarga yang kompak. Walaupun sedikit debat dan pertengkaran diantara anak-anak tetap menjadi bumbu dalam keluarga kami. Namun itulah yang menjadi pelangi keluarga.
Dengan berbagai karakter yang ada, memang tidak mudah untuk membuat kompak. Tapi dengan saling pengertian dan pemahaman antara masing-masing anggota keluarga, membuat kekompakan semakin terasa. Anak yang sudah besar dapat diandalkan untuk menggantikan peran orang tua disaat kami sedanf tidak di rumah. Anak yang kecil dapat diandalkan untuk membantu kakak-kakaknya. Sungguh suatu nikmat yang tak terkira.
Sehingga benar adanya makna dari ayat di surat Ar Rahman yang berbunyi,"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" Semoga dari apa yang menjadi tradisi dan kebiasaan keluarga kami dapat menghasilkan generasi muda Islam yang sholeh dan sholehah. Aamiin yaa Rabbal Aalamiin….

 

 Gambar mungkin berisi: 4 orang, termasuk Bintang Haykal Fikri, gunung, luar ruangan dan alam

Minggu, 09 Agustus 2020

Solver dan Writer

 Gambar mungkin berisi: Runny Yuliasari, teks yang menyatakan 'Bunda Runny Woman Solver ပ Writer'

 
Kedua profesi inilah yang melengkapi peran saya sebagai perempuan. Sebagai diri pribadi, saya bisa mengungkapkan segala ide, perasaan dan pengalaman dalam bentuk tulisan. Di mana tulisan-tulisan tersebut menjadikan saya merintis sebagai penulis.
Sebagai seorang ibu, saya sudah menjadi ibu dari 4 orang anak yang in syaa Allah soleh dan sholehah. Sebagai seorang istri, saya sudah menjalaninya selama 17 tahun. Semoga hingga jannah-Nya nanti, kami tetap bersama.
Sebagai anggota masyarakat, saya memilih peran menjadi seorang Solver. Profesi di mana seseorang membantu orang lain untuk menemukan jalan cahaya kehidupannya. Sesuai dengan tagline Solver, yaitu "Nyalakan Jalan Cahaya".
Dengan profesi ini saya ingin mengambil peran untuk membantu para wanita agar lebih berdaya, mandiri tapi tetap memahami posisinya sebagai seorang istri, ibu dan diri sendiri. Oleh karena inilah saya mengambil spesialisasi Solver sebagai "Woman Solver". Sesuai ajaran Islam, yang diterangkan dalam Al Quran, bahwa wanita adalah tiang negara. Baik wanitanya maka baik pula negaranya.
Dengan tagline "Be A Great Woman", saya ingin mengajak para wanita untuk berjuang menjalankan berbagai peranannya. Karena prinsip yang sesuai dengan ajaran Islam adalah "A Great Woman can create A Great Leader".
Kedua profesi ini saya peroleh dengan penuh perjuangan. Keinginan menjadi penulis berawal saat bertemu dengan seorang blogger cantik di sebuah komunitas tahun 2012. Tahun 2015, bertemu seorang mentor penulis di facebook. Mencoba ikut kelasnya agar bisa menerbitkan buku solo. Walau hingga tahun 2016, buku solo tersebut tidak pernah terbit.
Hingga di tahun 2018, saat  saya mantap mengambil Solver sebagai profesi, dengan perjuangan yang tidak mudah. Karena perjuangan meyakinkan suami bahwa dengan menjadi Solver adalah impian saya, membutuhkan waktu berbulan-bulan.
Karena tekad yang kuat, maka Allah membuka hati suami untuk memberikan restu dan ridhanya kepada saya. Ya, ridha suami menjadi penentu keberhasilan saya. Seiring dengan perjalanan saya menempuh pendidikan Solver, profesi Writer mulai berkembang pula. Bagi saya, seorang Solver tanpa mempunyai karya tulisan belumlah sempurna.

 

Jumat, 07 Agustus 2020

Mengapa Harus Menulis?

Gambar mungkin berisi: Runny Yuliasari, teks
 

Seringkali pertanyaan tersebut diajukan dan jawaban setiap orang pun akan berbeda pula. Ada yang karena kebutuhan, hobi atau cuma sekedar suka menulis saja.
Begitu pula bagi saya. Waktu masih sekolah dasar, saya hobi sekali membaca karena itu akhirnya timbul keinginan untuk menulis cerita pendek. Sempat beberapa kali membuat naskah cerpen dan dikirim ke redaksi majalah anak dan remaja. Tapi karena belum rejeki, akhirnya naskah tersebut tidak pernah muncul di majalah-majalah itu.
Masuk sekolah menengah pertama, sudah muncul cinta monyet. Berbagai perasaan terhadap lawan jenis dituangkan ke dalam buku harian. Berpuluh-puluh buku harian menjadi saksi berbagai perasaan saya selama masa sekolah menengah pertama. Dengan menuangkan perasaan ke dalam tulisan di buku harian, membuat hati saya menjadi lebih ringan.
Awal sekolah menengah atas, kebiasaan menulis di buku harian mulai berkurang. Bahkan akhirnya hilang sama sekali. Sejak itu sampai saya menjadi seorang ibu dengan 4 orang anak, aktivitas menulis tidak lagi saya lakukan. Namun hobi membaca tidak pernah lekang oleh waktu. Dalam satu waktu, saya terbiasa membaca beberapa buku secara paralel. Sehingga saya bisa menyelesaikan membaca beberapa buku dalam waktu yang nyaris bersamaan.
Saat ini, seiring dengan perjalanan waktu, dan untuk menunjang profesi saya sebagai Solver, menulis adalah sebuah keniscayaan. Saya ingin buku-buku yang berisi ilmu pendukung profesi saya menjadi legacy yang saya wariskan kepada anak cucu saya kelak. Jadi untuk saat ini, menulis sudah menjadi kebutuhan bagi saya.
Namun, saya bukanlah orang dengan jenis karakter yang bisa istiqomah dilepas untuk menulis sebuah buku. Saya memerlukan mentor yang akan memotivasi saya untuk istiqomah menulis. Oleh karena itulah saya banyak mengambil kelas menulis ini itu karena memang saya membutuhkannya. Jadi janganlah heran apabila di medsos pribadi, banyak postingan dengan hastag dari berbagai kelas menulis. Karena merekalah saya bisa istiqomah menulis sehingga sudah bisa menghasilkan beberapa buku antologi. Doakan agar buku solonya segera rampung. Aamiin yaa Allah…..