Senin, 20 April 2020

Anakku Jalan Hijrahku

             8 tahun yang lalu, secara terpaksa kamu harus dilahirkan, anakku. Kondisimu tidak memungkinkan untuk tinggal lebih lama di rahim bunda. Secepatnya kamu harus keluar demi menyelamatkan nyawamu yang sudah kita perjuangkan untuk dipertahankan.

              Oktober 2011, badan yang terasa lemas dan lesu selama seminggu lebih ternyata menandakan bahwa aku sedang hamil. Kaget, bahagia dan khawatir bercampur aduk saat menerima kabar tersebut. Ada trauma tersendiri setelah mengalami 7x kehamilan dan 4 diantaranya keguguran. Namun aku tetap bersyukur karena yakin pasti akan ada hikmah yang sedang Allah coba tunjukkan kepadaku.                                 Memasuki minggu 12, aku mengalami pendarahan. Hal yang selalu terjadi di minggu yang sama pada tiga kehamilan sebelumnya. Dokter kandungan memang melarangku untuk beraktivitas di trimester pertama. Namun demi karir yang sedang menanjak, aku selalu mengabaikan peringatan dokterku tersebut.

            Pada kehamilan ini aku sering merasakan kontraksi, namun di minggu ke 12 ini kontraksi tersebut mengakibatkan pendarahan. Sehingga aku harus segera pergi ke rumah sakit.      Tiba di rumah sakit aku langsung ke IGD untuk melihat kondisi janinku. Dari hasil USG, dokter menyatakan bahwa aliran nutrisi ke janinku kurang baik dikarenakan tingkat stress yang kuhadapi. Dokter memutuskan aku harus dirawat agar dapat beristirahat untuk memperbaiki kondisi janinku.

            Selama dirawat di rumah sakit, aku seringkali merenung mencoba mencari pesan yang Allah ingin sampaikan kepadaku melalui peristiwa-peristiwa ini. Dari hasil perenungan dan berbagai masukan dari teman-teman kantor, aku memutuskan untuk mengajukan mutasi ke bagian yang tidak memerlukan pergi ke lapangan.

            Seminggu setelah kembali ke kantor, aku mengalami pendarahan lagi. Aku diharuskan bedrest total, tidak boleh turun sama sekali dari tempat tidur mengingat riwayat keguguran berulang yang pernah kualami. Kali ini aku bertekad apapun akan kulakukan untuk mempertahankan janinku.

            Rupanya Allah mendengar tekadku. Memasuki trimester kedua, setiap aku bergerak, perutku berkontraksi sehingga keluar vlek. Praktis  selama hamil aku tidak bisa pergi ke kantor. Pihak kantor tidak mau tahu dengan kondisiku dan tetap meminta aku  kembali bekerja. Sementara dokter kandungan memvonis aku tidak boleh banyak bergerak apabila janinku ingin selamat.

            Dengan mengucapkan bismillah, aku meminta ijin kepada suami untuk resign dari pekerjaanku. Tidak sampai sebulan setelah resign, aku melahirkan. Rupanya bayiku ingin segera menghirup udara dunia, dia minta dilahirkan di usia kandungan 32 minggu 3 hari melalui operasi caesar.

            Perjuangan kami belum selesai, 2 jam setelah kelahirannya bayiku kritis dikarenakan paru-parunya tidak mengembang dan dirujuk ke sebuah rumah sakit khusus ibu dan anak. Sebelum aku sadar dari pengaruh obat bius, aku sudah dipisahkan dari bayiku. Hikmahnya, aku menjadi lebih cepat pulih dari operasi.

            Pulang dari rumah sakit, aku langsung menengok bayiku. Aku tak sanggup menahan tangis melihat kondisinya yang dipenuhi berbagai selang. Kubisikkan kedatanganku dan memotivasinya terus berjuang. Setiap hari aku ke rumah sakit mendampingi bayiku. Hampir seharian aku di rumah sakit, berharap keajaiban datang. Aku meminta maaf kepada anak-anakku yang lain dan mencoba memberi pengertian bahwa saat ini aku harus fokus kepada adik mereka sehingga untuk sementara mereka tidak bisa mendapatkan perhatianku. Alhamdulillah anak-anakku mengerti dan mereka sangat menantikan kehadiran adik kecilnya di rumah.

Minggu pertama di NICU, bayiku beberapa kali mengalami kritis. Sempat tidak dapat bernafas walau sudah dibantu oleh ventilator. Aku dan suami meminta kepada dokter agar memberikan tindakan apapun yang diperlukan agar bayiku bisa tetap bertahan. Dokter mengatakan bahwa yang diperlukan bayiku hanyalah doa.

            Pertengahan minggu ketiga, bayiku sudah mulai bisa mencerna ASI. Gembira rasanya apalagi bayiku menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Di awal minggu keempat, bayiku sudah bisa dipindahkan ke ruang neonatal biasa dan minum ASInya tidak lagi melalui selang tapi dari botol. Suster memintaku untuk memberikan ASI sesuai jadwal yang sudah ditetapkan.

            Memasuki minggu kelima, anakku sudah lepas dari berbagai selang yang selama ini membantunya bertahan. Namun bilirubinnya masih tinggi, bayiku harus diterapi sinar ultraviolet. Dokter menyarankan agar bayiku digendong setiap jadwal pemberian ASI agar bisa merasakan kelekatan dengan ibunya. Diharapkan bayiku bisa minum ASI lebih banyak sehingga bilirubinnya bisa turun.

Namun ternyata walau sudah dilakukan hal tersebut, bilirubin bayiku tetap tinggi. Dari hasil cek darah dan pemeriksaan lab lainnya, ditemukan bahwa bayiku mengalami breastmilk jaundice, yaitu bayi kuning karena ASI. Penyakit ini sangat jarang terjadi namun tidak membahayakan dan biasanya hanya berlangsung 1-2 hari. Dokter menyarankan agar bayiku tidak disusui dulu selama sehari untuk mengecek penurunan bilirubinnya. Alhamdulillah, setelah tidak disusui sehari, bilirubin bayiku turun walau belum pada angka normal yaitu 5.

Akhirnya setelah hampir 2 bulan dirawat, bayiku bisa berkumpu bersama kakak-kakaknya. Dan memang selama dirumah, bayiku menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Suamiku menyiapkan boks bayi yang sudah dipasangi lampu ultraviolet karena bayiku masih terlihat kuning. Sampai usia 4 bulan, bayiku masih tetap diterapi sinar ultraviolet selain dijemur dipagi hari karena wajah dan badannya masih terlihat kuning.

Alhamdullillah, sampai saat ini bayiku berkembang sesuai dengan perkembangan bayi normal. Walaupun dokter sudah mengingatkan aku untuk tidak berharap bahwa bayiku akan berkembang sesuai dengan perkembangan bayi yang lahir normal. Namun kenyataan menunjukkan bahwa perkataan dokter tidak terbukti kepada bayiku.

Peristiwa kelahiran dan kondisi bayiku menjadi salah satu titik balik hidupku. Aku semakin memantapkan diri untuk menjadi ibu rumah tangga yang merawat, mengasuh dan mengawasi anak-anakku sendiri sebagai balasan atas waktu kebersamaan yang hilang saat aku bekerja dahulu. Bahkan dititik ini pula aku memutuskan untuk berhijab. Melalui perjuangan aku dan bayiku selama masa kehamilan dan pasca kelahirannya, aku akhirnya dapat memahami pesan yang Allah ingin sampaikan kepadaku selama ini adalah bahwa  agar aku lebih fokus mencari akhirat. Selama ini dunia sudah berada dalam genggamanku, namun aku masih menganggap sepele urusan akhirat. Sungguh Allah sangat menyayangiku.