Krieeettttt...
Suara pintu ruang meeting berderit saat kubuka. Huuuffff, padahal
sudah kuusahakan kedatanganku tanpa suara, tapi tetap saja suara pintu bangunan
tua ini membuat bapak Regional Manager menoleh ke arah kedatanganku.
Kuanggukkan kepala dan tersenyum kepada beliau. Kuedarkan pandangan mencari
kursi kosong, hanya tersisa di sebelahnya Madava, rekan sekerja yang juga suami
dari sahabatku yang menurut Aksa, OB dicabangku, tergila-gila padaku sejak awal
kami bertemu.
Tiba-tiba aku mendengar namaku dipanggil, kutolehkan kepala kearah
suara itu, tampak Devlin melambaikan tangannya kepadaku. Ternyata kursi
disebelahnya kosong, alhamdulillah, walaupun posisi di depan tapi tidak mengapa
yang penting tidak di sebelah Madava. Meskipun aku tahu bahwa Devlin pun
mempunyai hati kepadaku. Beginilah resiko menjadi artis kantor yang punya
banyak penggemar, hahaha...
Jalannya rapat tidak menarik buatku, iseng kubuka handphone, ada
pesan masuk di WA. Ternyata dari Madava, singkat saja isinya hanya tiga
kata,”kamu cantik sekali”. Kutersenyum tapi tidak tertarik untuk merespon.
Dreeeetttt, muncul pesan baru Freya, staf andalanku di cabang yang
memberitahukan bahwa Madava sudah menyiapkan kursi untukku saat meeting. Kubalas pesannya dengan
mengatakan bahwa aku sudah mendapatkan tempat duduk disebelah Devlin.
“Allahu Akbar Allahu Akbar”, yesss adzan maghrib berkumandang,
akhirnya rapat yang membosankan ini reses juga. Karena sedang jadwalku libur
shalat, sambil menunggu yang lain shalat aku berkeliling mengitari meja
prasmanan, memilih menu mana yang akan kumakan nanti. Tapi ternyata, tidak
satupun yang menggoda seleraku sehingga kuputuskan makan makanan penutup saja.
Jam tujuh rapat dimulai lagi, dengan malas aku beranjak masuk ke
ruangan. Yess, kursi yang dibagian belakang masih banyak yang kosong.
Kuhempaskan tubuh dikursi seraya menarik nafas panjang. “Kenapa cantik?” sebuah
suara menyapaku. “Capek”, kataku seraya memejamkan mata. Kuterkejut ketika
tiba-tiba ada yang menggenggam tanganku. Dan lebih terkejut lagi ketika kubuka
mata dan melihat bahwa Madava lah orangnya. Kutarik tanganku tapi Madava
semakin mengeratkan genggamannya. Kutatap wajahnya, baru kali ini aku melihat
wajahnya dengan jarak sedekat ini, tersadar ternyata senyumnya cukup
karismatik. Hehehe....
*****
Dreeetttt....dreeeetttt....sedang morning briefing di cabang,
handphoneku bergetar. Siapa yang menelepon pagi-pagi begini, apakah Ravindra
suamiku yang menelepon? Kalau Ravindra, berarti ada yang sangat penting yang
ingin dia bicarakan denganku. Aku sangat memahami suamiku, Ravindra tidak akan
menggangguku pada saat jam kerja kalau memang tidak ada yang urgent. Segera
kuakhiri morning briefingnya dan kusambar handphone yang terletak diatas
mejaku. Kulihat ternyata Madava yang menelepon. Hhhmmm, mau apa dia. Sejak
meeting regional kemarin, Madava tidak ada sekalipun menghubungiku. Malahan
Devlin yang berulang kali mengajakku makan siang bersama.
Kuangkat telepon dengan nada biasa, terdengar ucapan salam dari
seberang sana. Madava langsung menanyakan apakah aku sudah shalat dhuha atau
belum. Mendengar pertanyaannya, entah mengapa hatiku tiba-tiba bergetar dan
dagdigdug tak menentu. Selama menikah, Ravindra tak pernah sekalipun menanyakan
ibadahku, sementara aku sangat mengagumi laki-laki yang taat beribadah.
Sehingga mendengar pertanyaan Madava, aku langsung tersentuh. Dan begitu dia
mengajakku makan siang bersama, tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan.
Makan siang pertama berlanjut ke acara makan siang berikutnya dan
berikutnya. Aku sangat menikmati kebersamaan dengan Madava. Karena selain makan
siang, kami selalu melaksanakan shalat dzuhur berjamaah. Hubungan kami menjadi
lebih intens, sehingga sudah menjadi rahasia umum dicabangku. Harus kuakui
loyalitas timku menjaga kerahasiaan hubungan kami. Aksa sang OB selalu menutupi
kedatangan Madava ke cabangku dengan cara menyediakan tempat parkir khusus yang
tidak terlihat dari depan kantor. Freya dan Naila sangat membantuku dalam
menjalankan cabang selama aku tinggal makan siang. Walau mereka sering
mengingatkanku bahwa hubunganku dengan Madava adalah salah, terlebih Madava
adalah suami dari sahabatku sendiri Zanna dan kondisi rumah tangga mereka agak
goyah dikarenakan sekian belas tahun menikah masih belum dikaruniai keturunan,
sedangkan aku yang baru menikah 4 tahun tapi sudah mempunyai anak 2 orang.
*****
Ting tong....
Terdengar bunyi bel rumahku, waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi
dan aku sedang santai sambil mendengarkan cerita Zanna melalui telepon dilantai
dua. Zanna mulai mencurigai bahwa Madava mempunyai perempuan lain karena
handphone nya diberikan password dan sering menelepon berlama-lama di malam
hari. Aku merasa seperti pengkhianat dan memang itu faktanya, tapi aku selalu
meyakinkan Zanna untuk mengubah sikapnya menjadi lebih tegas dan lebih
berpendirian dalam arti jangan nrimo terus apapun yang terjadi. Aku selalu
mengatakan agar Zanna menjadi diri sendiri dan mampu mengatakan tidak untuk
hal-hal yang memang tidak dia sukai, karena itu yang sebenarnya diinginkan
Madava dari Zanna. Dan sikap itu Madava temukan pada diriku. Ada sedikit
perasaan bersalah pada Zanna, tapi aku punya tujuan tersendiri atas hubunganku
dengan Madava ini. Aku tidak perrnah berniat mengambil Madava dari Zanna,
malahan aku berniat memperbaiki hubungan mereka agar rumah tangganya tetap
utuh. Sungguh ironis bukan....
Ting tong....
Bunyi bel kembali terdengar, aku berteriak memanggil si bibi. Tak
terdengar jawaban sehingga dengan terpaksa aku berlari turun untuk membuka
pintu. Ternyata Aksa yang datang, dia diminta Madava menjemputku untuk
menemuinya di sebuah pantai yang berada dipinggir kota. Kaget tapi bahagia,
yaaaa, aku semakin merindukan kebersamaan dengan Madava. Tapi semakin intens
hubunganku dengan Madava, semakin bergairah aku kepada Ravindra, sampai membuat
Ravindra terheran-heran dengan perlakuanku kepadanya. Entahlah, aku tidak mengerti
apakah itu wujud dari perasaan bersalahku atau karena keberadaan Madava membuat
hubunganku dengan Ravindra yang monoton menjadi lebih ada variasi. Sudahlah,
aku tidak mau memikirkan itu, aku hanya ingin menjalani ini semua karena dengan
kedua hubungan ini aku merasa lengkap.
Perjalanan ke pantai terasa lama, Aksa tidak mengucap sepatah
katapun sehingga membuat pikiranku melayang merenungi kembali hubunganku dengan
Madava. Deeerrrttt...tiba-tiba handphoneku bergetar, tampak nama Devlin di
layar. Ragu untuk kuangkat. Aksa melihat keraguanku dan menyarankan untuk
mengangkatnya. Sebenarnya aku malas karena dapat kuduga tujuannya, tapi
daripada sepi sepanjang perjalanan akhirnya kuputuskan untuk menerima telepon
Devlin. Dan benar saja, Devlin mengajakku untuk makan siang dengan alasan
bertemu klien. Lagi-lagi kutolak karena memang aku tidak tertarik kepadanya.
Hhhuuuffff, lelah rasanya menghadapi Devlin yang tidak juga menyerah.
Sesampainya di pantai, ternyata Madava sudah menyiapkan jamuan
makan siang yang romantis. Aku merasa tersanjung dan kembali membandingkan
Madava dengan Ravindra. Ya, seumur aku mengenal Ravindra, aku tidak pernah
diperlakukan romantis, tak ada ungkapan cinta atau sayang, yang penting
kebutuhanku terpenuhi. Hal itu yang membuat hubunganku dengan Ravindra begitu
monoton, tapi entah mengapa hubungan kami bisa bertahan sampai 12 tahun.
Selama kami makan, Madava terlihat lebih diam sehingga membuatku
gelisah. Madava hanya berulang kali menatapku serasa tangannya tidak lepas
menggenggam tanganku. Perasaanku menjadi
tidak enak membuat selera makanku pun lenyap. Kutak tahan lagi akhirnya kulepas
genggamannya dan bertanya ada apa gerangan. Madava tidak segera menjawab, dia
tampak kesulitan untuk menjawabku. Tiba-tiba Madava memelukku erat sekali sampai kumerasa sesak. Aku berusaha
melepaskan pelukannya, namun semakin kuberusaha semakin erat Madava memelukku. Menghela
nafas panjang, Madava kemudian membisikan sesuatu ke telingaku,”Kyra, senin
besok aku dimutasi ke Medan.”
Tubuhku beku, pikiranku melayang tak tahu harus bagaimana. Madava
melepaskan pelukannya, dia elus wajahku tapi aku tetap membeku. Baru kusadari
ternyata perasaanku kepada Madava sudah sedemikian dalam dan berita ini
membuatku terpukul. Dengan perasaan masih tak menentu, aku katakan bahwa aku
ingin pulang. Madava mengatakan bahwa dia masih ingin bersamaku tapi aku
bersikeras ingin pulang. Aku hanya ingin tidur dan pada saat terbangun nanti
aku akan tahu bahwa ini semua hanya mimpi.
*****
Senin pagi aku berangkat ke kantor dengan penuh semangat, menyadari
akan bertemu dengan Madava. Tiba di kantor, Aksa memberikan berkas yang harus
kubahas dalam morning briefing. Hhhmmm, untung sedikit yang harus dibahas
sehingga kuputuskan untuk mempercepat briefing. Satu persatu kubahas berkas ditanganku
bersama timku, tiba di berkas terakhir yang isinya adalah undangan acara
perpisahan Madava yang akan dimutasi ke Medan. Nanar mataku menatap undangan
itu, sejenak dunia terasa berputar dan gelap. Naila dan Freya dengan sigap
menyangga badanku dan membawaku ke ruanganku. Aksa menyusul dengan membawa
secangkir teh hangat manis. Aku bertanya kepada Freya apakah undangan itu
benar, dia dan Naila membenarkannya.
Aku tidak berminat untuk menghadiri undangan itu dan sampai tiba
waktu keberangkatan Madava ke Medan, tidak sekalipun aku mau menerima telepon
atau membalas pesannya. Ya aku cukup terguncang. Perasaanku kepada Madava
sedang mulai mekar tapi harus layu sebelum waktunya berkembang. Dan aku juga
menghindar dari Zanna yang saat itu belum ikut Madava ke Medan karena masih
mengurus pengunduran dirinya disekolah tempat dia mengajar.
Sejak kepergian Madava aku seolah kehilangan semangat hidup. Kyra
yang seorang wanita karir dengan segudang prestasi seolah lenyap, beruntung
Naila dan Freya sangat mengerti keadaanku sehingga urusan kantor mereka
selesaikan tanpa menggangguku. Ya, aku merasakan kekosongan dalam hati,
kepergian Madava meninggalkan sebuah ruang kosong yang begitu sunyi. Diantara
kegamanganku ditinggal Madava, Ravindra membawa kabar bahwa dia dimutasi ke
Jakarta. Aku semakin tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Meninggalkan kota
yang sudah memberikan banyak kenangan manis bersama Madava membuatku merasa
bahwa hilang sudah harapanku untuk bertemu dengan dia kembali.
*****
Deeeerrrttt....handphoneku bergetar, enggan kulihat siapa yang
menelepon. Ternyata Zanna, dia minta aku datang kerumahnya karena ada yang
ingin diceritakan. Kusanggupi permintaannya bahwa nanti sepulang kantor aku
akan mampir ke rumahnya.
Tiba dirumah Zanna aku diberikan kejutan yang tidak kuinginkan,
Madava ada disana. Aku tak sanggup untuk bertemu dia karena aku tahu aku tak
akan sanggup untuk berpisah kembali dengannya. Beruntung Zanna segera datang
dan dengan gembira dia mengabarkan bahwa hari ini dia sudah resmi mengundurkan
diri dan sabtu besok dia akan ikut Madava ke Medan. Kuucapkan selamat kepada
Zanna dengan perasaan tak menentu dan dengan alasan anakku ingin dibawakan
makanan, aku permisi pulang. Tuhan, semakin kacau hatiku, beruntung aku selamat
sampai rumah.
Sebulan setelah Zanna ikut Madava ke Medan, tiba-tiba pada suatu
malam dia meneleponku sambil histeris mengatakan bahwa dia akan meminta cerai
kepada Madava. Disaat aku sedang menata hati ditinggal Madava, tiba-tiba
mendapat kabar seperti ini membuat hatiku kacau kembali. Antara muncul harapan
bisa bersatu lagi dengan Madava dan bagaimana nasib rumah tanggaku dengan
Ravindra.
Aku minta Zanna untuk menarik nafas panjang dan menceritakan apa
yang terjadi. Zanna bercerita bahwa Madava akhirnya mengakui bahwa dia
berselingkuh dan ingin bersatu dengan wanita itu. Zanna terpukul dan langsung
meminta cerai walau sebenarnya dia bingung apabila bercerai nanti apa yang
harus dia lakukan. Ya, Zanna selama ini tergantung kepada Madava bahkan sampai
hal yang sepelepun Zanna tidak pernah berani memutuskan selalu meminta Madava
yang memutuskan sehingga dengan adanya perceraian ini membuat dia benar-benar
jatuh.
Mendengar cerita Zanna aku tersentak seolah tersadarkan akan apa
yang sudah kulakukan kepada sahabatku. Aku tidak pernah menduga bahwa Madava
akan berani mengungkapkan hubungan kami kepada Zanna walau Madava tidak mau
memberitahukan bahwa akulah wanita yang dimaksud. Dan aku tidak mengira bahwa
Zanna akan seterpuruk ini akibatnya. Selesai menerima telepon Zanna, aku
termenung dan berpikir. Akankah aku setega ini kepada temanku sendiri yang
notabene adalah wanita terlemah yang pernah aku temui? Sisi hatiku yang lain
berkata bahwa ini semua bukanlah salahku. Madava lah yang sejak pertama
mengejarku sampai akhirnya aku luluh. Semakin merenung semakin sakit kepalaku,
akhirnya kuputuskan untuk tidur.
Keesokan harinya, kepalaku masih terasa sakit dan memutuskan untuk
tidak ke kantor. Ku kirim pesan kepada Freya dan Naila serta atasanku Manager
Regional untuk mengabarkan bahwa aku sedang tidak fit. Aku hanya ingin sendiri
dan memikirkan ini semua. Sambil minum kopi pahit aku duduk diteras belakang
rumahku. Tak terasa aku tertidur dan terbangun ketika menjelang dzuhur.
Bersiap-siap shalat dzuhur, aku tak mau membuat keputusan apapun.
Kuserahkan semua kepada Allah, biarkan Dia yang memutuskan semuanya untukku.
Kuhanya jalani saja semua, bersiap mengajukan mutasi ke jakarta untuk mengikuti
Ravindra. Kubiarkan sebuah ruang dihatiku menunggu sang pemiliknya datang kembali
atas izinNya.
Note :
Terima kasih sudah mengizinkan aku menuliskan salah satu cerita hidupmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar