SETITIK CAHAYA DIBALIK DUKA
Awal
tahun 2018 adalah titik balik kehidupanku. Pencarian yang selama ini kulakukan
akhirnya menemukan pelabuhannya. Di tahun ini, kutemukan apa yang selama ini
menjadi passionku yaitu menjadi seseorang yang membantu mendampingi orang lain
dalam menghadapi problematika kehidupannya, aku mengambil spesialisasi wanita
dan hidupnya. Dan memang benar, melakukan hobi yang didasari oleh passion akan
terasa lebih berjiwa dibandingkan melakukan hobi yang biasa, dan aku benar-benar
merasakannya. Nikmat Tuhanku yang mana lagikah yang kau dustakan.
Ya,
di tahun 2018 ini aku memutuskan untuk terjun memperdalam sebuah konsep
mengenai karakter manusia yang dinamakan STIFIn. Konsep ini benar-benar
membantu aku menemukan missing part dari puzzle hidupku selama ini. Dan
yang meyakinkan aku bahwa akhirnya pekerjaan inilah yang akan aku jalankan. Menjadi
seseorang yang bisa mendampingi orang lain menghadapi tantangan hidupnya dengan
tools yang simple namun akurat.
Suatu
hari di bulan Maret 2018, aku mengikuti workshop STIFIn dengan tema learning
dan teaching. Dan sungguh aku tidak menyesal karena materi dalam workshop itu
sangat membantu aku menjalankan pekerjaan sebagai promotor STIFIn. Bahagia rasanya
melihat wajah-wajah bahagia para klien yang merasa teerbantu dalam menghadapi
anak-anak maupun pasangannya. Dan ternyata perasaan inilah yang menjadi tujuan
utama dari hidupku, karena sejatinya ketika perasaan bahagia itu datang maka
rejeki akan mengalir dengan lancar. Itulah yang disebut dengan sunatullah.
Masih
di bulan Maret, seorang sahabat memintaku untuk datang ke kota tempat
tinggalnya karena ada beberapa koleganya yang berminat untuk berkonsultasi. Tidak
dinyana ternyata beberapa dari koleganya tersebut mempunyai anak ‘spesial’. Sungguh
suatu pengalaman baru dan sangat berharga bagiku. Pengalaman baru yang sangat
menyenangkan dan mengharukan. Belum pernah aku berhadapan langsung dengan
anak-anak berkebutuhan khusus ini. Dan menghadapi mereka membuat aku semakin
bersyukur dan merasa begitu kecil dibandingkan dengan dahsyatnya perjuangan
ibu-ibu mereka.
Sungguh
sedih menyaksikan anak-anak ini diperlakukan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Memang
maksud dari orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk si anak tapi ternyata
bukan itu yang dibutuhkan si anak, sehingga yang ada adalah si anak merasa
tersiksa dan terkekang karena merasa tidak difahami oleh orang tuanya. Beruntung
aku sudah sedikit memahami konsep STIFIn yang ternyata ampuh dalam memenuhi kebutuhan
psikologis anak-anak spesial ini. Rasa bahagia yang membuncah ketika melihat
betapa tercerahkannya para orang tua ini ketika aku menjelaskan hasil dari tes
STIFIn dari anak-anak mereka dan bagaimana anak-anak ini harus diperlakukan.
Betapa
penyesalan yang dalam tercurahkan dari para orang tua ini bahwasanya selama ini
mereka memperlakukan anak-anaknya tidak sesuai kebutuhannya. Dalam artian
mereka memperlakukkan anak spsesialnya berdasarkan apa yang diajarkan oleh
dokter dan terapisnya, tanpa menyadari bahwa setiap anak itu unik sehingga
perlakuannya pun harus unik juga. Dan hal ini tidak hanya berlaku untuk
anak-anak spesial namun untuk semua anak, semua orang.
Satu hal
yang aku dapatkan dari peristiwa tersebut adalah bahwasanya perlakuan yang
tepat akan meberikan hasil yang maksimal. Jangankan untuk anak normal,
perlakuan yang tepat lebih-lebih sangat diperlukan oleh anak spesial karena
dengan begitu mereka bisa mengejar ketertinggalan perkembangannya dari anak
normal. Meskipun perkembangannya tidak akan bisa menyamai anak normal namun
dengan perlakuan yang tepat para anak spesial ini bisa berkembang dengan
optimal sampai batas maksimal kemampuan mereka.
Dapat
kita bayangkan bagaimana tersiksanya seorang anak spesial yang menderita speech delay
sedangkan kebutuhan psikologisnya adalah banyak bicara. Dan anak tersebut disekolahkan
di Sekolah Luar Biasa dimana anak-anaknya mempunyai keterbatasan dalam
mendengar. Sebagaimana kita ketahui anak dengan pendengaran yang terbatas
rata-rata kurang mampu berbicara dan anak yang menderita speech delay itu
digabungkan bersama mereka. Padahal sejatinya anak yang speech delay
seharusnya tidak digabungkan dengan mereka karena akan semakin memperlambat
perkembangan bicaranya.
Ya,
dari hasil test menggunakan konsep STIFIn, anak tersebut mempunyai karakter
yang dominasi otaknya adalah limbik kanan. Dimana karakter tersebut menunjukkan
bahwa potensi si anak adalah menggunakan organ berbicara dan sangat menyukai untuk
bergaul dengan banyak orang. Sementara selama ini dia disekolahkan di SLB
khusus tuna rungu dan dilarang keluar rumah karena sering tantrum. Alhasil dari
hasil konsultasi ditemukan titik mengapa selama ini perkembangan bicara si anak
sangat lambat padahal si ibu sampai berhenti kerja agar bisa fokus merawat
anaknya itu.
Menyadari
bahwa anaknya kurang tepat diperlakukan, si ibu sangat menyesal dan merasa
bersalah karena ternyata dia ikut andil dalam lambatnya perkembangan si anak. Dia
bertekad untuk mulai memperlakukan si anak sesuai dengan apa yang sudah
dikonsultasikan walaupun dia harus menerima cibiran atau hinaan sebagai
akibatnya. Apalagi si ibu termasuk dalam kategori orang yang temperamental,
maka semakin tinggi tantangannya dalam merawat anaknya tersebut. Tapi itulah
yang dinamakan perjuangan seorang ibu yang tiada batasnya.