Kamis, 29 November 2018

Setitik Cahaya Dibalik Duka


Related image
 
SETITIK CAHAYA DIBALIK DUKA

            Awal tahun 2018 adalah titik balik kehidupanku. Pencarian yang selama ini kulakukan akhirnya menemukan pelabuhannya. Di tahun ini, kutemukan apa yang selama ini menjadi passionku yaitu menjadi seseorang yang membantu mendampingi orang lain dalam menghadapi problematika kehidupannya, aku mengambil spesialisasi wanita dan hidupnya. Dan memang benar, melakukan hobi yang didasari oleh passion akan terasa lebih berjiwa dibandingkan melakukan hobi yang biasa, dan aku benar-benar merasakannya. Nikmat Tuhanku yang mana lagikah yang kau dustakan.
            Ya, di tahun 2018 ini aku memutuskan untuk terjun memperdalam sebuah konsep mengenai karakter manusia yang dinamakan STIFIn. Konsep ini benar-benar membantu aku menemukan missing part dari puzzle hidupku selama ini. Dan yang meyakinkan aku bahwa akhirnya pekerjaan inilah yang akan aku jalankan. Menjadi seseorang yang bisa mendampingi orang lain menghadapi tantangan hidupnya dengan tools yang simple namun akurat.
            Suatu hari di bulan Maret 2018, aku mengikuti workshop STIFIn dengan tema learning dan teaching. Dan sungguh aku tidak menyesal karena materi dalam workshop itu sangat membantu aku menjalankan pekerjaan sebagai promotor STIFIn. Bahagia rasanya melihat wajah-wajah bahagia para klien yang merasa teerbantu dalam menghadapi anak-anak maupun pasangannya. Dan ternyata perasaan inilah yang menjadi tujuan utama dari hidupku, karena sejatinya ketika perasaan bahagia itu datang maka rejeki akan mengalir dengan lancar. Itulah yang disebut dengan sunatullah.
            Masih di bulan Maret, seorang sahabat memintaku untuk datang ke kota tempat tinggalnya karena ada beberapa koleganya yang berminat untuk berkonsultasi. Tidak dinyana ternyata beberapa dari koleganya tersebut mempunyai anak ‘spesial’. Sungguh suatu pengalaman baru dan sangat berharga bagiku. Pengalaman baru yang sangat menyenangkan dan mengharukan. Belum pernah aku berhadapan langsung dengan anak-anak berkebutuhan khusus ini. Dan menghadapi mereka membuat aku semakin bersyukur dan merasa begitu kecil dibandingkan dengan dahsyatnya perjuangan ibu-ibu mereka.
            Sungguh sedih menyaksikan anak-anak ini diperlakukan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Memang maksud dari orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk si anak tapi ternyata bukan itu yang dibutuhkan si anak, sehingga yang ada adalah si anak merasa tersiksa dan terkekang karena merasa tidak difahami oleh orang tuanya. Beruntung aku sudah sedikit memahami konsep STIFIn yang ternyata ampuh dalam memenuhi kebutuhan psikologis anak-anak spesial ini. Rasa bahagia yang membuncah ketika melihat betapa tercerahkannya para orang tua ini ketika aku menjelaskan hasil dari tes STIFIn dari anak-anak mereka dan bagaimana anak-anak ini harus diperlakukan.
            Betapa penyesalan yang dalam tercurahkan dari para orang tua ini bahwasanya selama ini mereka memperlakukan anak-anaknya tidak sesuai kebutuhannya. Dalam artian mereka memperlakukkan anak spsesialnya berdasarkan apa yang diajarkan oleh dokter dan terapisnya, tanpa menyadari bahwa setiap anak itu unik sehingga perlakuannya pun harus unik juga. Dan hal ini tidak hanya berlaku untuk anak-anak spesial namun untuk semua anak, semua orang.
            Satu hal yang aku dapatkan dari peristiwa tersebut adalah bahwasanya perlakuan yang tepat akan meberikan hasil yang maksimal. Jangankan untuk anak normal, perlakuan yang tepat lebih-lebih sangat diperlukan oleh anak spesial karena dengan begitu mereka bisa mengejar ketertinggalan perkembangannya dari anak normal. Meskipun perkembangannya tidak akan bisa menyamai anak normal namun dengan perlakuan yang tepat para anak spesial ini bisa berkembang dengan optimal sampai batas maksimal kemampuan mereka.
            Dapat kita bayangkan bagaimana tersiksanya seorang anak  spesial yang menderita speech delay sedangkan kebutuhan psikologisnya adalah banyak bicara. Dan anak tersebut disekolahkan di Sekolah Luar Biasa dimana anak-anaknya mempunyai keterbatasan dalam mendengar. Sebagaimana kita ketahui anak dengan pendengaran yang terbatas rata-rata kurang mampu berbicara dan anak yang menderita speech delay itu digabungkan bersama mereka. Padahal sejatinya anak yang speech delay seharusnya tidak digabungkan dengan mereka karena akan semakin memperlambat perkembangan bicaranya.
            Ya, dari hasil test menggunakan konsep STIFIn, anak tersebut mempunyai karakter yang dominasi otaknya adalah limbik kanan. Dimana karakter tersebut menunjukkan bahwa potensi si anak adalah menggunakan organ berbicara dan sangat menyukai untuk bergaul dengan banyak orang. Sementara selama ini dia disekolahkan di SLB khusus tuna rungu dan dilarang keluar rumah karena sering tantrum. Alhasil dari hasil konsultasi ditemukan titik mengapa selama ini perkembangan bicara si anak sangat lambat padahal si ibu sampai berhenti kerja agar bisa fokus merawat anaknya itu.
            Menyadari bahwa anaknya kurang tepat diperlakukan, si ibu sangat menyesal dan merasa bersalah karena ternyata dia ikut andil dalam lambatnya perkembangan si anak. Dia bertekad untuk mulai memperlakukan si anak sesuai dengan apa yang sudah dikonsultasikan walaupun dia harus menerima cibiran atau hinaan sebagai akibatnya. Apalagi si ibu termasuk dalam kategori orang yang temperamental, maka semakin tinggi tantangannya dalam merawat anaknya tersebut. Tapi itulah yang dinamakan perjuangan seorang ibu yang tiada batasnya.

Tidak ada komentar: